Kamis, 08 Mei 2014

Peter Carey dan Pangeran Diponegoro

Peter Carey dan Pangeran Diponegoro
Peter Carey (65) meneliti tentang pangeran Diponegoro (1785-1855).  Pada awalnya ia pergi ke Cornell dengan cita-cita menyusun disertasi tentang Marsekal Herman Willem Deandels , gubernur Jendral  era Napoleon yang mengubah sistem pemerintahan kolonial Belanda  di Jawa, Topik disertasi ini lah yang di usulkan oleh guru besar sejarah dan ketua dewan penguji saat ia meraih gelar di Oxford.
Rencana itu buyar saat ia bertemu dengan 3 guru besarnya di Cornell, yakni George MacTurnan Kahin, Ben Anderson, and Oliver Wolters. Ketiganya adalah pakar kajian Indonesia. Mereka menyarankan dia mempelajari bahasa-bahasa di Asia Tenggara dan melihat berbagai peristiwa sejarah era kolonial dari sudut pandang bumiputra.

Perjumpaan
Suatu kali Carey diberi tugas untuk membaca buku  teks klasik tentang sejarah Indonesia yang berjudul Geschiedenis van Indonesie. Saat membaca suatu bab Carey terpusat perhatiannya pada sebuah ilustrasi gambar Diponegoro sedang memasuki lapangan perkemahan di Matesih, Kulon Progo, Yogyakarta, 20 hari menjelang penangkapannya pada 29 Maret 1830.
Itu lah “perjumpaan” yang membulatkan tekadnya untuk melakukan penelitian tentang Pangeran Diponegoro dan perang Jawa. Sementara “perjumpaannya” dengan Diponegoro terjadi di Tegalrejo pada hari pertamanya tinggal di Yogyakarta-Tempat ia kemudian tinggal selama 18 bulan sampai Juni 1973- setelah semalaman naik kereta api dari Jakarta dan menuju losmen. Ia bertemu dengan kenalannya, seorang pria Inggris.

Malamnya pria itu mengajak Carey menonton pementasan Wayang di sebuah kampung di sisi barat kota, Carey setuju dan pergi kesana dengan Becak. Kampung itu ternyata Tegalrejo, bekas tempat tinggal Pangeran Diponegoro.

Tegalrejo dibumi hanguskan oleh Belanda pada 20 Juli 1825, Hari penyergapan Diponegoro yang berhasil lolos dan melarikan diri. Hari dimulainya Perang Jawa.
“Hari itu saya merasa melihat bayangan Diponegoro meyambut kedatangan kami di Tegalrejo. Itu malam pertama saya di Yogyakarta” ujar Carey. Sejak “penampakan” Diponegoro di Tegalrejo, 43 tahun yang lalu, ia seolah ditakdirkan terus berjuang lewat berbagai karya demi memantapkan keagungan Pangeran Diponegoro, tokoh Muslim yang saleh dan pemimpin suci melawan kolonialis Belanda.
Bukan hal mudah untuk meneliti Pangeran Diponegoro, ia sempat kesulitan untuk menemukan referensi atau tulisan tentang Pangeran Diponegoro. Bahkan, lebih sedikit lagi tulisan tentang Diponegoro yang ditulis oleh Sejarawan Indonesia.


Kekosongan Historigrafi Orang Indonesia dan lebih akrab dengan budaya Barat dibandingkan dengan budaya sendirilah yang juga menjadi salah satu alasan ia melakukan penelitian mendalam tentang tokoh yang ia sebut sebgai pahlawan nasional Indonesia paling utama.

0 komentar:

Posting Komentar