Peter Carey dan Pangeran Diponegoro
Peter Carey (65) meneliti tentang pangeran Diponegoro
(1785-1855). Pada awalnya ia pergi ke
Cornell dengan cita-cita menyusun disertasi tentang Marsekal Herman Willem
Deandels , gubernur Jendral era Napoleon
yang mengubah sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa, Topik disertasi ini lah yang di
usulkan oleh guru besar sejarah dan ketua dewan penguji saat ia meraih gelar di
Oxford.
Rencana itu buyar saat ia bertemu dengan 3 guru besarnya di
Cornell, yakni George MacTurnan Kahin, Ben Anderson, and Oliver Wolters.
Ketiganya adalah pakar kajian Indonesia. Mereka menyarankan dia mempelajari
bahasa-bahasa di Asia Tenggara dan melihat berbagai peristiwa sejarah era
kolonial dari sudut pandang bumiputra.
Perjumpaan
Suatu kali Carey diberi tugas untuk membaca buku teks klasik tentang sejarah Indonesia yang
berjudul Geschiedenis van Indonesie. Saat
membaca suatu bab Carey terpusat perhatiannya pada sebuah ilustrasi gambar Diponegoro
sedang memasuki lapangan perkemahan di Matesih, Kulon Progo, Yogyakarta, 20
hari menjelang penangkapannya pada 29 Maret 1830.
Itu lah “perjumpaan” yang membulatkan tekadnya untuk
melakukan penelitian tentang Pangeran Diponegoro dan perang Jawa. Sementara
“perjumpaannya” dengan Diponegoro terjadi di Tegalrejo pada hari pertamanya
tinggal di Yogyakarta-Tempat ia kemudian tinggal selama 18 bulan sampai Juni
1973- setelah semalaman naik kereta api dari Jakarta dan menuju losmen. Ia
bertemu dengan kenalannya, seorang pria Inggris.
Malamnya pria itu mengajak Carey menonton pementasan Wayang
di sebuah kampung di sisi barat kota, Carey setuju dan pergi kesana dengan
Becak. Kampung itu ternyata Tegalrejo, bekas tempat tinggal Pangeran
Diponegoro.
Tegalrejo dibumi hanguskan oleh Belanda pada 20 Juli 1825,
Hari penyergapan Diponegoro yang berhasil lolos dan melarikan diri. Hari
dimulainya Perang Jawa.
“Hari itu saya merasa melihat bayangan Diponegoro meyambut
kedatangan kami di Tegalrejo. Itu malam pertama saya di Yogyakarta” ujar Carey.
Sejak “penampakan” Diponegoro di Tegalrejo, 43 tahun yang lalu, ia seolah
ditakdirkan terus berjuang lewat berbagai karya demi memantapkan keagungan
Pangeran Diponegoro, tokoh Muslim yang saleh dan pemimpin suci melawan
kolonialis Belanda.
Bukan hal mudah untuk meneliti Pangeran Diponegoro, ia
sempat kesulitan untuk menemukan referensi atau tulisan tentang Pangeran
Diponegoro. Bahkan, lebih sedikit lagi tulisan tentang Diponegoro yang ditulis
oleh Sejarawan Indonesia.
Kekosongan Historigrafi Orang Indonesia dan lebih akrab dengan
budaya Barat dibandingkan dengan budaya sendirilah yang juga menjadi salah satu
alasan ia melakukan penelitian mendalam tentang tokoh yang ia sebut sebgai
pahlawan nasional Indonesia paling utama.
0 komentar:
Posting Komentar