Kamis, 08 Mei 2014

Manajemen Rasa "Malu"

Marsam Suma (46) ia tampil sebagai motor penggerak sekaligus mendorong diri sendiri untuk menjadi pekerja sosial masyarakat tahun 1990. Sejak saat itulah, ia giat membangun jaringan dengan sejumlah pihakyang diharapkan  mau menggulirkan program pemberdayaan di Desa Kuripan Selatan.
Ia masuk ke sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk menimba ilmumenyusun dan memetakan potensi desa berikut strategi penanganan dan program aksi lapangan guna diintegrasikandalam rencana pembangunan jangka menengah desa. Program utama yang kemudian disepakati adalah memberdayakan ekonomi masyarakat, menekan angka anak balita gizi buruk, dan memperbaiki sanitasi lingkungan.
Dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat, Marsyam memfasilitasi warga membuat kelompok sehingga lahir, antara lain, kelompok pemberdayaan ekonomi Mandiri Pangan, Bangun rumah, dan Jamban keluarga.

Desa Kuripan selatan memang memerlukan dukungan. Tahun 2007, dari 2.225 keluarga, 85 persen merupakan keluarga miskin, 5 anak balita bergizi buruk, dan 55 anak balita kurang gizi. Luas lahan desa ini sekitar 200 hektar atau setiap keluarga hanya kebagian 1 are.
Selain itu, kondisi sanitasi dan lingkungannya pun memprihatinkan. Dusun Embung misalnya, dari 150 keluarga, hanya 2 keluarga yang memiliki jamban kelurga. Warga lain yang tak punya jamban biasa membuang hajat di kebun dan sawah.
Meski paham tak mudah mengajak warga berubah, Maram punya keyakinan bahwa perubahan itu bisa terwujud. Alasan dia, ada modal sosial untuk menggerakan inisiatif dan partisipasi warga, seperti budaya gotong royong dan semangat mereka berwirausaha sebagai pendedak (pedagang lengumpul) yang menjual komoditas pangan, sayuran, dan produk kerajinan keliling.

Hati Nurani
Semangat pendedak digabung tradisi gotong royong digunakan Marsam membangun kesadarankolektif warga mengubah kondisi desa mereka. Kesadarn koektif warga mengubah kondisi desa mereka. Kesadaran kolektif ia sentuh lewat pendekatan persuasif. Ia mengundang warga dari pintu ke pintu dan berdialog seputar mengatasi persoalan desa.
Strategi pendekatan Marsam direspon warga meski sebagian mempertanyakan sumber dana program itu. Namun lewat kelompok yang ia bentuk, tahun 2008, Bank Mandiri dan Bank BRI mengucurkan kredit usaha rakyat total Rp. 5 miliar untuk kelompok usaha bakulan, perajin kasur, tikar pandan, batu bata, dan lain-lain.

Setelah aktivitas ekonomi berjalan, ia menyasar bidang kesehatan, terutama sanitasi dan lingkungan.  Lewat kelompok warga pula, para anggota diminta menyisihkan hasil berjualan Rp. 50,000 per orang.
Dan itu untuk membuat jamban permanen guna menopang subsidi pemerintah. Dana digunakan untuk membeli material, seperti kloset, pipa, dan semen. Warga yang bersedia membuat jamban diharuskan membuat lubang sedalam 2 meter dengan lebar 1,5 meter dirumahnya.
Tahun 2012 semua warga desa sudah memiliki jamban keluarga. “Kini kalau ada yang membuangn hajat disembarang tempat akan disoraki warga lannya,”. Ketersediaan jamban tersebut terwujud menyusul masuknya instalasi pipa air ke bersih ke desa yang biasanya kerisis air saat musim kemarau.

Nikmat
Atas usaha itu Marsam kerap menjadi nara sumber di sejumlah seminar dan diskusi tentang pemberdayaan masyarakat  di Lombok ataupun Jakarta.
Selain bertani, belakangan warga desa pun mempunyai sumber penghasilan harian, di antaranya sebagai buruh angkut batu bata atau dari jasa menjual kasur dengan upah sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 per orang sehari.

Sebagai Kepala Urusan Pemerintah Desa Kuripan Selatan , Marsam bergaji sekitar Rp.800.000 per bulan. Namun, dari kiprahnya menerapkan “manajemen rasa malu” secara nata untuk pemberdayaan masyarakat, ia mendapat rezeki, antara lain, sebagai narasumber dalam sejumlah kesempatan.

“Honor (sebagai nara sumber)ada, uang transportasi saya biasanya ditanggung pengundang. Saya juga dapat merasakan tidur di hotel, he-he-he,” ucap Marsam tanpa menyebutkan nominalnya.

0 komentar:

Posting Komentar