Orang dapat berkembang ke arah yang tidak di rencanakan dan meraih sukses. Salah satunya adalah Wignyo Rahadi. Latar berlakan pendidikan akunting tak menghalangi dia menekuni tenun dan masuk dalam industri busana berbasis tenun.
Merambah ke pembuatan busana,menurut laki-laki kelairan Solo, Jawa Tengah, ini adalah konsekuensi logis kelanjutan usaha tenunnya.
"Justru membuat pakaian mendorong kreativitas saya menciptakan corak tenun bar," kata ayah dua putri ini.
Kerja kerasnya menghasilkan sejumlah kepenghargaan, antara lain Award of Excellence for Handicrafts South East Asia and South Asia 2012 dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuian dan kebudayaan Perserikatan bangsa-bangsa (UNESCO), di dalam negri ia mendapatkan penghargaa dari Kementrian Perdagangan.
"Tumpukan kain tenun yang 'salah' lebih banyak dari yang bisa saya jual" kata Wignyo di sela-sela melatih perempuan penenun di Nagari Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Januari lalu.
Mobil pun pernah dai lego dan tabungan selama bekerja sebagai profesiaonal audit keuangan juga dia cairkan demi kelanjutan usaha tenunnya di Cisaat, Sukabumi, Jawa barat.
Semua itu berbuah manis. Tenun gaya semakin meningkat kualitasnya dari segi corak, kekuatan tenunan ataupun kehalusan pekerjaan.
Dunia hitung-hitungan terlihat jauh berbeda dari kerja menenun, bagi Wignyo yang saat remaja senang menggambar sehingga bercita-cota belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung, kedua pengetahuan itu saling melengkapi.
Karna tidak di restui oleh orang tuanya, Wignyo masuk sekolah Tinggi Ekonomi Jakarta. Lulus sebagai sarjana pada 1985, ia lalu bekerja sebagai profesional akunting. Terakhir dia bekerja di perusahaan Group Salin sebagai Manager Senior.
Perjalanan kesejumlah kota untuk memeriksa keuangan perusahaan membawa dia ke sentra-sentra kerajinan. Pada 1997 sambil terus bekerja sebagai profesional. Merasa sudah punya pengetahuan bekal yang cukup mengenai tenun, tahun 1999 Wignyo membeli sebidang tanah di Desa Padaasih, Cisaat, Sukabumi. Lokasi itu beraad di lingkungan pabrik bata yang mayoritas pekerjanya perempuan.
Bermula dari seperangkat alat tenun bukan mesin yang ia beli dari sentra tenun di Majalaya, tak tak lama kemudian bertambah menjadi tujuh alat tenun. Selama tahun 1997-1999, dia melatih para perempuan bekas pekerja pabrik batu bata untuk menenun. Bukan pekerjaa mudah mengajarkan menenun yang membutukan ketelitian dan ketekunan kerja tangan secara halus kepada mereka.
Saat awal belajar, para ibu tersebut mengaku bingung sehingga keterampilan menenun tak kunjung dikuasai. Wignyo mendatangkan perempuan petenun dari Majalaya untuk mengajar di Sukabumi.
Ternyata mereka lebih senang jika diajarkan oleh perempuan. Mereka cepat belajar. Susah payah ia mengajari petani menanam pohon merbei untuk pakan ulat sutra danmemelihara kepompong. Usaha itu gagalkarena rupanya petani membutuhkan uang tunai segera.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSwUWapdxockPPReQXYDAuyZpbJ0d_Eawk2F1JIsTGhkrmILedoC8wq4hZf-Wbc7KqnM_AjEn0y44HPQVvhdfQm3i6xN2vU4LB6aY85ZN5UePCeiVa7KZWpwnzgn2dg5mz03WlsFXxYvU/s1600/wignyo.jpg)
Salah satu tantangannnya adalah persaingan tenaga kerja dari industri lain, "Belum lama ini 20 penenun, masih muda-muda minta berhenti. Mereka pindah ke pabrik gramen di dekat sini. Alasannya, lebih bergengsi biarpun gajinya lebih sedikit daripada tempat kami" kata Wignyo.
Meski begitu, dia pantang putus asa. Apalagi dua putrinya mulai tertarik mendalami dunia tenun. Cita-cita yang terus menghidupi kerja seninya adalah mengubah citra tenun tradisional itu berat saat di pakai dan kuno. Konsumen pun ternyata menyambut baik.
0 komentar:
Posting Komentar